Filsafat Ilmu

PENDAHULUAN

Sebelum membahas tentang ontologi, terlebih dahulu kita harus membahas pengertian dari pengetahuan, ilmu, dan filsafat. Tanpa mengetahui dengan jelas pengertian keempatnya akan mengakibatkan kerancuan dalam pembahasan berikutnya. Kita juga tidak akan bisa menempatkan ketiga hal tersebut pada tempatnya masing-masing dan akibatnya tidak akan tahu secara tepat dimana sebenarnya posisi ontologi yang akan dibahas.

I. PENGETAHUAN, ILMU DAN FILSAFAT

A. Pengetahuan

Secara etimologi pengetahuan berasal dari kata dalam bahasa Inggris yaitu knowledge. Sedangkan secara terminologi akan dikemukakan beberapa defenisi tentang pengetahuan. Menurut Soetriono & Hanafie (2007), pengetahuan adalah hasil dari tahu. Tak jauh berbeda, Bakhtiar (2004) menyimpulkan bahwa pengetahuan merupakan hasil dari proses dari usaha manusia untuk tahu terhadap sesuatu, atau segala perbuatan manusia untuk memahami suatu objek tertentu.

“Kita melihat, mendengar, merasa, meraba, mencium segala sesuatu. Pengalaman panca indera ini melalui proses langsung kemudian menjadi pengetahuan”.

“Pengetahuan adalah gejala tahu nya, secara bagian per bagian, seseorang baik bersumber dari dirinya sendiri maupun dari orang lain mengenai sesuatu dan dasar sesuatu itu”

Lebih lanjut dijelaskan bahwa pengetahuan merupakan hasil dari proses berpikir. Proses berpikir ini merupakan serangkaian gerak pemikiran dalam mengikuti jalan pemikiran yang akhirnya sampai pada sebuah kesimpulan yang berupa pengetahuan (Suriasumantri , 1985).

Jadi Pengetahuan adalah apa yang kita ketahui yang berupa kesimpulan yang merupakan hasil dari pengamatan terhadap suatu gejala yang parsial.

B. Ilmu

Ilmu berasal dari bahasa Arab yaitu “alima” yang berarti mengerti. Dalam bahasa Inggris disebut scinece; dari bahasa Latin scientia (pengetahun) – scire (mengetahui).

Suriasumantri (1987) menggambarkan pengertian ilmu dengan sangat sederhana. Ilmu adalah seluruh pengetahuan yang kita miliki dari sejak bangku SD hingga perguruan tinggi. Suriasumantri (1987) juga menyatakan bahwa Ilmu adalah pengetahuan yang mengembangkan dan melaksanakan aturan-aturan mainnya dengan penuh tanggung jawab dan kesungguhannya.

Dari beberapa keterangan para ahli tentang ilmu, Bakhtiar (2004) menyimpulkan bahwa ilmu adalah sebagian pengetahuan yang mempunyai ciri, tanda, syarat tertentu, yaitu sistematik, rasional, empiris, universal, objektif, dapat diukur, terbuka, dan kumulatif.

Beerling, Kwee, Mooij dan Van Peursen menggambarkannya lebih luas “Ilmu timbul berdasarkan atas hasil penyaringan, pengaturan, kuantifikasi, obyektivasi, singkatnya, berdasarkan atas hasil pengolahan secara metodologi terhadap arus bahan-bahan pengalaman yang dapat dikumpulkan.”

Sehingga dengan demikian,

Ilmu adalah kumpulan pengetahuan secara holistik yang tersusun secara sistematis yang teruji secara rasional dan terbukti empiris.

Ukuran kebenaran Ilmu adalah rasionalisme dan empirisme sehingga kebenaran ilmu bersifat Rasional dan Empiris.

C. Filsafat

Menurut arti kata, filsafat terdiri atas kata philein yang berarti cinta dan sophia yang berarti kebijaksanaan. Filsafat berarti cinta kebijaksanaan. Cinta berarti hasrat yang besar atau yang berkobar-kobar atau yang sungguh-sungguh. Kebijaksanaan artinya kebenaran sejati atau kebenaran yang sesungguhnya. Jadi filsafat artinya hasrat atau keinginan yang sungguh akan kebenaran sejati (Soetriono & Hanafie, 2007).

“Filsafat adalah berpikir secara menyeluruh, mendasar namun spekulatif”

Plato dalam The Liang Gie “ Filsafat adalah penyelidikan terhadap sifat-sifat dasar yang penghabisan dari kenyataan”, J.A. Leighton dalam The Field Of Philoshopy dalam The Liang Gie “Filsafat adalah pencarian suatu totalitas dan keserasian dari pengertian yang beralasan mengenai sifat dasar dan makna dari semua segi pokok kenyataan. Suatu filsafat yang lengkap mencakup suatu pandangan dunia atau konsepsi yang beralasan mengenai seluruh kosmos dan suatu pandangan hidup atau ajaran tentang nilai-nilai, makna-makna, dan tujuan-tujuan dari hidup manusia”

Sedangkan menurut pengertian umum, filsafat adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakikat segala sesuatu untuk memperoleh kebenaran. Filsafat adalah ilmu pengetahuan tentang hakikat. Ilmu pengetahuan tentang hakikat menanyakan apa hakikat atau sari atau inti atau esensi segala sesuatu. Dengan cara ini maka jawaban yang akan diberikan berupa kebenaran yang hakiki. (Soetriono & Hanafie, 2007)

Dengan demikian,

Filsafat adalah upaya pengerahan akal budi berupa berpikir yang mendalam dan holistik namun spekulatif mengenai hakikat sesuatu yang bertujuan untuk menemukan jawaban dari persoalan yang dipertanyakan.

Namun filsafat bersifat spekulatif / asumtif sehingga kebenarannya pun bersifat spekulatif/asumtif.

D. Hubungan Ilmu dan Filsafat

Seperti diketahui Ilmu adalah kumpulan pengetahuan yang mempunyai ciri-ciri tertentu yang membedakan ilmu dengan pengetahuan-pengetahuan lainnya. Ciri-ciri keilmuan ini didasarkan pada jawaban yang diberikan ilmu terhadap tiga pertanyaan pokok yang mencakup masalah tentang apa yang ingin kita ketahui (ontologi) , bagaimana cara mendapatkan pengetahuan tersebut (epitemologi), dan apa nilai kegunaannya bagi kita (aksiologi). Filsafat mempelajari masalah ini sedalam-dalamnya dan hasil pengkajiannya merupakan dasar bagi eksistensi ilmu.

II. ONTOLOGI

A. Pengertian Ontologi

1. Menurut bahasa,

ontologi berasal dari bahasa Yunani yaitu : On/Ontos = ada, dan Logos = ilmu. Jadi, ontologi adalah ilmu tentang yang ada.

2. Menurut istilah,

ontologi adalah ilmu yang membahas tentang hakikat yang ada, yang merupakan ultimate reality baik yang berbentuk jasmani/konkret maupun rohani/abstrak (Bakhtiar , 2004).

3. Menurut Suriasumantri (1985),

ontologi membahas tentang apa yang ingin kita ketahui, seberapa jauh kita ingin tahu, atau, dengan kata lain suatu pengkajian mengenai teori tentang “ada”. Telaah ontologis akan menjawab pertanyaan-pertanyaan :

a) apakah obyek ilmu yang akan ditelaah,

b) bagaimana wujud yang hakiki dari obyek tersebut, dan

c) bagaimana hubungan antara obyek tadi dengan daya tangkap manusia (seperti berpikir, merasa, dan mengindera) yang membuahkan pengetahuan.

4. Menurut Soetriono & Hanafie (2007)

ontologi yaitu merupakan azas dalam menerapkan batas atau ruang lingkup wujud yang menjadi obyek penelaahan (obyek ontologis atau obyek formal dari pengetahuan) serta penafsiran tentang hakikat realita (metafisika) dari obyek ontologi atau obyek formal tersebut dan dapat merupakan landasan ilmu yang menanyakan apa yang dikaji oleh pengetahuan dan biasanya berkaitan dengan alam kenyataan dan keberadaan.

5. Menurut Pandangan The Liang Gie

Ontologi adalah bagian dari filsafat dasar yang mengungkap makna dari sebuah eksistensi yang pembahasannya meliputi persoalan-persoalan :

Apakah artinya ada, hal ada ?

Apakah golongan-golongan dari hal yang ada ?

Apakah sifat dasar kenyataan dan hal ada ?

Apakah cara-cara yang berbeda dalam mana entitas dari kategori-kategori logis yang berlainan (misalnya objek-objek fisis, pengertian universal, abstraksi dan bilangan) dapat dikatakan ada ?

6. Menurut Ensiklopedi Britannica Yang juga diangkat dari Konsepsi Aristoteles

Ontologi Yaitu teori atau studi tentang being / wujud seperti karakteristik dasar dari seluruh realitas. Ontologi sinonim dengan metafisika yaitu, studi filosofis untuk menentukan sifat nyata yang asli (real nature) dari suatu benda untuk menentukan arti , struktur dan prinsip benda tersebut. (Filosofi ini didefinisikan oleh Aristoteles abad ke-4 SM)

B. Pokok Pemikiran Ontologi

Menurut Bakhtiar (2004), di dalam pemahaman ontologi dapat dikemukakan pandangan-pandangan poko pemikiran sebagai berikut :

I. Monoisme

Paham ini menganggap bahwa hakikat yang asal dari seluruh kenyataan itu hanyalah satu saja, tidak mungkin dua baik yang asal berupa materi ataupun berupa rohani.Paham ini kemudian terbagi ke dalam dua aliran :

a. Materialisme

Aliran ini menganggap bahwa sumber yang asal itu adalah materi, bukan rohani. Menurut Rapar dalam Soetriono & Hanafie (2007), materialisme menolak hal-hal yang tidak kelihatan. Baginya, yang ada sesungguhnya adalah keberadaan yang semata-mata bersifat material atau sama sekali tergantung pada material.

b. Idealisme

Aliran ini beranggapan bahwa hakikat kenyataan yang beraneka ragam itu semua berasal dari ruh (sukma) atau sejenis dengannya, yaitu sesuatu yang tidak berbentuk dan menempati ruang. Menurut Rapar dalam Soetriono & Hanafie (2007), segala sesuatu yang tampak dan terwujud nyata dalam alam indrawi hanya merupakan gambaran atau bayangan dari yang sesungguhnya, yang berada di dunia idea

II. Dualisme

Aliran ini berpendapat bahwa benda terdiri dari dua macam hakikat sebagai asal sumbernya, yaitu hakikat materi dan hakikat ruhani. Dualisme mengakui bahwa realitas terdiri dari materi atau yang ada secara fisis dan mental atau yang beradanya tidak kelihatan secara fisis.

III. Pluralisme

Paham ini berpandangan bahwa segenap macam bentuk merupakan kenyataan. Pluralisme bertolak dari keseluruhan dan mengakui bahwa segenap macam bentuk ini semuanya nyata.

IV. Nihilisme

Nihilisme berasal dari bahasa Latin yang berati nothing atau tidak ada. Sebuah doktrin yang tidak mengakui validitas alternatif yang poditif

V. Agnotiisme

Paham ini mengingkari kesanggupan manusia untuk mengetahui hakikat benda. Baik hakikat materi maupun hakikat ruhani.

C. Dasar Ontologi Ilmu

Secara ontologis, ilmu membatasi masalah yang dikajinya hanya pada masalah yang terdapat pada ruang jangkauan pengalaman manusia. Istilah yang dipakai untuk menunjukkan sifat kejadian yang terjangkau fitrah pengalaman manusia disebut dengan dunia empiris.

Ilmu mempelajari berbagai gejala dan peristiwa yang menurut anggappannya mempunyai manfaat bagi kehidupan manusia. Berdasarkan obyek yang ditelaahnya, maka ilmu dpat dissebut sebagai pengetahuan empiris. Inilah yang merupakan salah satu ciri ilmu yakni orientasi terhadap dunia empiris.

Ilmu bertujuan untuk mengerti mengapa suatu hal terjadi, dengan membatasi diri pada hal-hal yang asasi. Atau dengan perkataan lain, proses keilmuan bertujuan untuk memeras hakekat obyek empiris tertentu, untuk mendapatkan sari berupa pengetahuan mengenai obyek tertentu.

Untuk mendapatkan pengetahuan ini ilmu membuat beberapa andaian (asumsi) mengenai obyek-obyek empiris. Asumsi ini diperlukan sebagai arah dan landasan bagi kegiatan penelaahhan kita. Sebuah pengetahuan baru dianggap benar selama kita bisa menerima asumsi yang dikemukakannya.

Suriasumantri (1985), merinci tiga asumsi mengenai obyek empiris yang dimiliki oleh ilmu, yaitu (1) menganggap obyek-obyek tertentu mempunyai keserupaan satu sama lain, umpamanya dalam hal bentuk, struktur, sifat dan sebagainya; (2) menganggap bahwa suatu benda tidak mengalami perubahan dalam jangka waktu tertentu; (3) menganggap tiap gejala bukan merupakan suatu kejadian yang bersifat kebetulan. Tiap gejala mempunyai pola tertentu yang bersifat tetap dengan urut-urutan kejadian yang sama. Hal ini disebut determinisme. Determinisme dalam pengertian ilmu bersifat peluang (probabilistik).

III. Batas-Batas Penjelajahan Ilmu

Pada saat ilmu mulai berkembang pada tahap ontologis, manusia mulai mengambil jarak dari obyek sekitar. Manusia mulai memberikan batas-batas yang jelas kepada obyek tertentu yang terpisah dengan eksistensi manusia sebagai subyek yang mengamati dan yang menelaah obyek tersebut. Dalam menghadapi masalah tertentu, dalam tahap ontologis manusia mulai menentukan batas-batas eksistensi masalah tersebut, yang memungkinkan manusia mengenal wujud masalah itu, untuk kemudian menelaah dan mencari pemecahan jawabannya.

Dalam usaha untuk memecahkan masalah tersebut, ilmu mencari penjelasan mengenai permasalahan yang dihadapinya agar dapat mengerti hakikat permasalahan yang dihadapi itu. Dalam hal ini ilmu menyadari bahwa masalah yang dihadapi adalah masalah yang bersifat konkret yang terdapat dalam dunia nyata. Secara ontologis, ilmu membatasi masalah yang dikajinya hanya pada masalah yang terdapat pada ruang jangkauan pengalaman manusia.

Ilmu memulai penjelajahannya pada pengalaman manusia dan berhenti di batas pengalaman manusia. Pembatasan ini disebabkan karena fungsi ilmu itu sendiri dalam kehidupan manusia yakni sebagai alat pembantu manusia dalam menanggulangi masalah-masalah yang dihadapinya sehari-hari. Persoalan mengenai hari kemudian tidak akan kita tanyakan kepada ilmu, melainkan kepada agama.

Ruang penjelajahan keilmuan kemudian menjadi cabang-cabang ilmu. Pada dasarnya cabang-cabang ilmu tersebut berkembang dari dua cabang utama yakni filsafat alam yang kemudian berkembang menjadi rumpun ilmu-ilmu alam dan filsafat moral yang kemudian berkembang ke dalam cabang ilmu-ilmu sosial. Ilmu-ilmu alam dibagi lagi menjadi ilmu alam dan ilmu hayat. Ilmu-ilmu sosial berkembang menjadi antropologi, psikologi, ekonomi,sosiologi dan ilmu politik.

Di samping ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial, pengetahuan mencakup juga humaniora dan matematika. Humaniora terdiri dari seni, filsafat, agama, bahasa dan sejarah.

Ilmu memulai penjelajahannya pada pengalaman manusia dan berhenti di batas pengalaman manusia. Fungsi ilmu yakni sebagai alat pembantu manusia dalam menanggulangi masalah-masalah yang dihadapinya sehari-hari. Ilmu diharapkan membantu kita memerangi penyakit, membangun jembatan, irigasi, membangkitkan tenaga listrik, mendidik anak, memeratakan pendapatan nasional dan sebagainya. Persoalan mengenai hari kemudian tidak akan kita tanyakan kepada ilmu, melainkan kepada agama, sebab agamalah pengetahuan yang mengkaji masalah-masalah seperti itu. Ilmu-ilmu murni kemudian berkembang menjadi ilmu-ilmu terapan, seperti contoh dibawah ini :

ILMU MURNI ILMU TERAPAN

Mekanika Mekanika Teknik

Hidrodinamika Teknik Aeronautikal /

Teknik & Desain Kapal

Bunyi Teknik Akustik

Cahaya & Optik Teknik Iluminasi

Kelistrikan / Teknik Elektronik /

Magnestisme Teknik Kelistrikan

Fisika Nuklir Teknik Nuklir

Cabang utama ilmu-ilmu sosial yakni antropologi (mempelajari manusia dalam perspektif waktu dan tempat), psikologi (mempelajari proses mental dan kelakuan manusia), ekonomi (mempelajari manusia dalam memenuhi kebutuhannya lewat proses pertukaran), sosiologi (mempelajari struktur organisasi sosial manusia) dan ilmu politik (mempelajari sistem dan proses dalam kehidupan manusia berpemerintahan dan bernegara).

Cabang utama ilmu-ilniu sosial yang lainnya mempunyai cabang-cabang lagi seperti antropologi terpecah menjadi lima yakni, arkeologi, antropologi fisik, linguistik, etnologi dan antropologi sosial/kultural, semua itu kita golongkan ke dalam ilmu murni.

Ilmu murni merupakan kumpulan teori-teori ilmiah yang bersifat dasar dan teoritis yang belum dikaitkan dengan masalah kehidupan yang bersifat praktis. Ilmu terapan merupakan aplikasi ilmu murni kepada masalah-masalah kehidupan yang mempunyai manfaat praktis.

Banyak sekali konsep ilmu-ilmu sosil “murni” dapat diterapkan langsung kepada kehidupan praktis, ekonomi umpamanya, meminjam perkataan Paul Samuelson, merupakan ilmu yang beruntung (Fortunate) karena dapat diterapkan langsung kepada kebijaksanaan umum (public policy).

Di samping ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial, pengetahuan mencakup juga humaniora dan matematika. Humaniora terdiri dari seni, filsafat, agama, bahasa dan sejarah. Matematika bukan merupakan ilmu, melainkan cara berpikir deduktif. Matematika merupakan sarana yang penting dalam kegiatan berbagai disiplin keilmuan, mencakup antara lain, geometri, teori bilangan, aljabar, trigonometri, geometri analitik, persamaan diferensial, kalkulus, topologi, geometri non-Euclid, teori fungsi, probabilitas dan statistika, logika dan logika matematika.

A. Jarum Sejarah Pengetahuan

Sebelum Charles Darwin menyusun teori evolusinya kita menganggap semua makhluk adalah serupa yang diciptakan dalam bentuk yang sama. Wajar saja kalau dalam kurun waktu itu tidak terdapat perbedaan antara berbagai pengetahuan. Pokoknya segala apa yang kita ketahui adalah pengetahuan. Metode “ngelmu” yang akhir-akhir ini mulai pop lagi, yang tidak membedakan antara berbagai jenis pengetahuan, mungkin dapat dianggap sebagai metode yang bersifat universal pada waktu itu.

Dengan berkembangnya abad penalaran maka konsep dasar berubah dari kesamaan kepada pembedaan. Mulailah terdapat pembedaan yang jelas antara pengetahuan, yang mengakibatkan timbulnya spesialisasi pekerjaan dan konsekuensinya mengubah struktur kemasyarakatan.

Salah satu cabang itu yang berkembang menurut jalannya sendiri adalah ilmu yang berbeda dengan pengetahuan-pengetahuan lainnya terutama dalam segi metodenya. Metode keilmuan adalah jelas sangat berbeda dengan ngelmu yang merupakan paradigma dari abad pertengahan, demikian juga ilmu dapat dibedakan dari apa yang ditelaahnya serta untuk apa ilmu itu dipergunakan.

Secara metafisik ilmu mulai dipisahkan dengan moral. Berdasarkan obyek yang ditelaah mulai dibedakan ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial. Dari cabang ilmu yang satu sekarang ini diperkirakan berkembnag lebih dari 650 ranting disiplin keilmuan. Perbedaan yang makin terperinci ini menimbulkan keahlian yang makin spesifik pula.

Pendekatan inter-disipliner memang merupakan keharusan, namun dengan tidak mengaburkan otonomi masing-masing disiplin keilmuan yang telah berkembang berdasarkan route-nya masing-masing, melainkan dengan menciptakan paradigma baru. Paradigma ini adalah bukan ilmu melainkan sarana berfikir ilmiah seperti logika, matematika, statistika, dan bahasa.

B. Pengetahuan

Pengetahuan pada hakikatnya merupakan segenap apa yang kita ketahui tentang suatu obyek tertentu, termasuk ke dalamnya adalah ilmu. Ilmu merupakan bagian dari pengetahuan yang diketahui manusia disamping berbagai pengetahuan lainnya seperti seni dan agama.

Pengetahuan merupakan khasanah kekayaan mental. Tiap jenis pengetahuan pada dasarnya menjawab jenis pertanyaan tertentu yang diajukan. Secara Ontologis ilmu membatasi diri pada kajian obyek yang berada dalam lingkup pengalaman manusia, sedangkan agama memasuki daerah penjelajahan yang bersifat trasendental yang berada di luar pengalaman kita.

Cara menyusun pengetahuan dalam kajian filsafati disebut epistemologi, dan landasan epistemologi ilmu disebut metode ilmiah.

Setiap jenis pengetahuan mempunyai ciri-ciri yang spesifik mengenai apa (ontologi), bagaimana (epistemologi), dan untuk apa (aksiologi) pengetahuan tersebut disusun.

Pengetahuan dikumpulkan oleh ilmu dengan tujuan untuk menjawab permasalahan kehidupan yang sehari-hari dihadapi manusia. Pemecahan tersebut pada dasarnya adalah dengan meramalkan dan mengontrol gejala alam. Untuk bisa meramalkan dan mengontrol sesuatu, maka kita harus menguasai pengetahuan yang menjelaskan peristiwa itu.

Seni, pada sisi lain pengetahuan mencoba mendeskripsikan sebuah gejala dengan sepenuh-penuhnya makna. Kalau ilmu mencoba mengembangkan sebuah model yang sederhana mengenai dunia empiris dengan mengabstraksikan realitas menjadi beberapa variabel yang terikat dalam sebuah hubungan yang rasional, maka seni (paling tidak seni sastra), mencoba mengungkapkan obyek penelaahan itu sehingga menjadi bermakna bagi pencipta dan mereka yang meresapinya. Seni menurut Moehtar Lubis, merupakan produk dari daya inspirasi dan daya cipta manusia yang bebas dari cengkraman dan belenggu berbagai ikatan. Karya seni ditujukan untuk manusia, dengan harapan bahwa pencipta dan obyek yang diungkapkan mampu berkomunikasi dengan manusia yang memungkinkan dia menangkap pesan yang dibawa karya seni itu.

Ilmu mencoba mencarikan penjelasan mengenai alam menjadi kesimpulan yang bersifat umum dan impersonal. Sebaliknya seni tetap bersifat individual dan personal, dengan memusatkan perhatiannya pada “pengalaman hidup manusia perseorangan”. Somerset Maugham menyimpulkan bahwa manusia memuliakan dirinya justru lewat pengalaman (penderitaan) orang lain.

Gejala alam merupakan pencerminan dari kepribadian dan kelakuan manusia dan karena pada waktu itu gejala alam sukar diramalkan, maka berkembanglah tokoh-tokoh supra natural, seperti munculnya dewa-dewa yang pemarah, pendendam, atau mudah jatuh cinta disamping berkeampuhan yang luar biasa. Sesuai dengan pengetahuan mereka mengontrol timbulnya gejala alam yang berupa malapetaka adalah identik dengan mengarahkan kelakuan para dewa yang bersangkutan. Dengan mempelajari alam mereka mengembangkan pengetahuan yang mempunyai kegunaan praktis. Lalu berkembanglah pengetahuan yang berakar pada pengalaman berdasarkan akal sehat (Common sense) yang didukung oleh metode mencoba-coba (trial-and error).

Perkembangan ini menyebabkan tumbuhnya pengetahuan yang disebut seni terapan (applied arts) yang mempunyai kegunaan langsung dalam kehidupan badani sehari-hari disamping “seni halus” (fine arts) yang bertujuan untuk memperkaya spiritual.

Seni terpakai ini pada hakikatnya mempunyai dua ciri yakni pertama, bersifat deskriptif dan fenomenologis dan, kedua ruang lingkup terbatas. Sifat deskriptif ini mencerminkan proses pengkajian yang menitikberatkan kepada penyelidikan gejala-gejala yang bersifat empiris tanpa kecenderungan untuk pengembangan postulat yang bersifat teoritis atmistis. Sifat terbatas dari seni terapan juga tidak menunjang berkembangnya teori-teori yang bersifat umum seperti teori gravitasi Newton dan teori medan elektromagnetik Maxwell, sebab tujuan analisisnya bersifat praktis.

Pada peradaban tertentu perkembangan seni terapan ini bersifat kuantitatif artinya perkembangannya ditandai dengan terkumpulnya lebih banyak lagi pengetahuan-pengetahuan yang sejenis. Sedangkan pada peradaban lain pengembangannya bersifat kualitatif artinya dikembangkan konsep-konsep baru yang bersifat mendasar dan teoritis. Akal sehat dan cara coba-coba mempunyai peranan penting dalam usaha manusia untuk menemukan penjelasan mengenai berbagai gejala alam.

Randall dan Buchler mendefinisikan akal sehat sebagai pengetahuan yang diperoleh lewat pengalaman yang tidak disengaja yang bersifat sporadis dan kebetulan. Sedangkan karakteristik akal sehat diberikan oleh Titus sebagai berikut: (1) karena landasannya yang berakar pada adat dan tradisi maka akal sehat cenderung untuk bersifat kebiasaan dan pengulangan; (2) karena landasannya yang berakar kurang kuat maka akal sehat cenderung untuk bersifat kabur dan samar-samar; (3) karena kesimpulan yang ditarik berdasarkan asumsi yang tidak dikaji lebih lanjut maka akal sehat lebih merupakan pengetahuan yang tidak teruji.

Ilmu mempunyai dua peranan (Bentrand Russell), pada satu pihak sebagai metafisika sedangkan pada pihak lain sebagai akal sehat yang terdidik (Educated common sense). Dalam kaitan ini berkembanglah metode eksperimen yang merupakan jembatan antara penjelasan teoritis yang hidup di alam rasional dengan pembuktian yang dilakukan secara empiris. Secara konseptual metode eksperimen dikembangkan oleh sarjana muslim dan secara sosiologis dimasyarakatkan oleh Francois Bacon.

Pengembangan metode eksperimen mempunyai pengaruh penting terhadap cara berfikir manusia sebab dengan demikian maka dapat diuji berbagai penjelasan teoritis apakah sesuai dengan kenyataan empiris atau tidak. Dengan demikian maka berkembanglah metode ilmiah yang menggabungkan cara berfikir deduktif dan induktif. Dengan berkembangnya metode ilmiah dan diterimanya metode ini sebagai paradigma oleh masyarakat keilmuan maka sejarah kemanusiaan menyaksikan perkembangan pengetahuan yang sangat pesat.

IV. ASUMSI DALAM ILMU

Setiap ilmu selalu memerlukan asumsi. Asumsi diperlukan untuk mengatasi penelaahan suatu permasalahan menjadi lebar. Semakin terfokus obyek telaah suatu bidang kajian, semakin memerlukan asumsi yang lebih banyak.
Asumsi dapat dikatakan merupakan latar belakang intelektal suatu jalur pemikiran. Asumsi dapat diartikan pula sebagai merupakan gagasan primitif, atau gagasan tanpa penumpu yang diperlukan untuk menumpu gagasan lain yang akan muncul kemudian. Asumsi diperlukan untuk menyuratkan segala hal yang tersirat. McMullin (2002) menyatakan hal yang mendasar yang harus ada dalam ontologi suatu ilmu pengetahuan adalah menentukan asumsi pokok (the standard presumption) keberadaan suatu obyek sebelum melakukan penelitian.
Sebuah contoh asumsi yang baik adalah pada Pembukaan UUD 1945: “ …kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa..” “…penjajahan diatas bumi…tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”. Tanpa asumsi-asumsi ini, semua pasal UUD 1945 menjadi tidak bermakna.

Apakah suatu hipotesis merupakan asumsi? Ya, jika diperiksa ke belakang (backward) maka hipotesis merupakan asumsi. Jika diperiksa ke depan (forward) maka hipotesis merupakan kesimpulan. Untuk memahami hal ini dapat dibuat suatu pernyataan: “Bawalah payung agar pakaianmu tidak basah waktu sampai ke sekolah”. Asumsi yang digunakan adalah hujan akan jatuh di tengah perjalanan ke sekolah. Implikasinya, memakai payung akan menghindarkan pakaian dari kebasahan karena hujan.

Dengan demikian, asumsi menjadi masalah yang penting dalam setiap bidang ilmu pengetahuan. Kesalahan menggunakan asumsi akan berakibat kesalahan dalam pengambilan kesimpulan. Asumsi yang benar akan menjembatani tujuan penelitian sampai penarikan kesimpulan dari hasil pengujian hipotesis. Bahkan asumsi berguna sebagai jembatan untuk melompati suatu bagian jalur penalaran yang sedikit atau bahkan hampa fakta atau data.

Terdapat beberapa jenis asumsi yang dikenal, antara lain;
Aksioma yaitu pernyataan yang disetujui umum tanpa memerlukan pembuktian karena kebenaran sudah membuktikan sendiri. Postulat adalah pernyataan yang dimintakan persetujuan umum tanpa pembuktian, atau suatu fakta yang hendaknya diterima saja sebagaimana adanya.

Dalam menentukan suatu asumsi dalam perspektif filsafat, permasalahan utamanya adalah mempertanyakan pada pada diri sendiri (peneliti) apakah sebenarnya yang ingin dipelajari dari ilmu. Terdapat kecenderungan, sekiranya menyangkut hukum kejadian yang berlaku bagi seluruh manusia, maka harus bertitik tolak pada paham deterministik. Sekiranya yang dipilih adalah hukum kejadian yang bersifat khas bagi tiap individu manusia maka akan digunakan asumsi pilihan bebas. Di antara kutub deterministik dan pilihan bebas, penafsiran probabilistik merupakan jalan tengahnya.

Seberapa banyak asumsi diperlukan dalam suatu analisis keilmuan? Semakin banyak asumsi berarti semakin sempit ruang gerak penelaahan suatu obyek observasi. Dengan demikian, untuk mendapatkan pengetahuan yang bersifat analistis, yang mampu menjelaskan berbagai kaitan dalam gejala yang ada, maka pembatasan dalam bentuk asumsi yang kian sempit menjadi diperlukan.

Bagaimana cara mengembangkan asumsi ini? Asumsi harus relevan dengan bidang dan tujuan pengkajian disiplin ilmu. Asumsi ini harus operasional dan merupakan dasar dari pengkajian teoritis
Asumsi ini harus disimpulkan dari “keadaan sebagaimana adanya” bukan “bagaimana keadaan yang seharusnya”. Jadi asumsi harus bersifat das sein bukan das sollen. Asumsi harus bercirikan positif, bukan normatif.
Lebih lanjut mengenai asumsi dan ontologi, ontologi adalah esensi dari fenomena, apakah fenomena merupakan hal yang bersifat objektif dan terlepas dari persepsi individu atau fenomena itu dipandang sebagai hasil dari persepsi individu. Mengenai hal ini, ada dua asumsi yang berbeda:

1. Nominalime: kehidupan sosial dalam persepsi individu tak lain adalah kumpulan konsep–konsep baku, nama dan label yang akan mengkarakteristikkan realitas yang ada. Intinya, realita dijelaskan melalui konsep yang telah ada.

2. Realisme: kehidupan sosial adalah merupakan kenyataan yang tersusun atas struktur yang tetap, tidak ada konsep yang mengartikulasikan setiap realita tersebut dan realita tidak tergantung pada persepsi individu.

V. KESIMPULAN

Ternyata ilmu/sains tidaklah sesederhana yang sering kita bayangkan. Sebagai User, kita umumnya memandang bahwa ilmu hanya berkutat pada pembahasan berbagai teori, riset, eksperimen atau rekayasa berbagai teknologi.

Ilmu ternyata merupakan sebuah dunia yang memiliki karakter dasar, prinsip dan struktur yang kesemuanya itu menentukan arah dan tujuan pemanfaatan ilmu.

Karakter dasar, prinsip dan struktur ilmu dibangun oleh para pendiri sains modern pada masa renaisans dimana saat itu para pendiri sains modern menyadari bahwa hidup manusia memiliki tujuan yaitu membangun peradaban ummat manusia dan untuk mencapai tujuannya manusia membutuhkan alat. Alat itu adalah …… ilmu.

DAFTAR PUSTAKA

Sistematika Filsafat, Buku 1, Sidi Gazalba Drs, Bulan Bintang, Jakarta 1973.

Tahu dan Pengetahuan, Poedjawijatna, Prof. Ir, Rineka Cipta, Jakarta 2004,

Pengantar Filsafat Ilmu, Beerling, Kwee, Mooij, Van Peursen, Tiara Wacana, Yogyakarta, 1990,

Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer, Jujun S Suriasumantri, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1990,

Suatu Konsepsi Ke Arah Penertiban Bidang Filsafat, The Liang Gie. Drs., Karya Kencana, Yogyakarta, 1977,

Ensiklopedia Britannica, dalam Wikipedia

http://hilda08.wordpress.com/filsafat-ilmu_ontologi-pengetahuan/

Suriasumantri, Jujun S, 1998. Filsafat Ilmu : Sebuah Pengantar Popular. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan

Suriasumantri, Jujun.1991. Ilmu Dalam Perspektif: Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.

Komentar

Postingan Populer